Selasa, 26 November 2013

Lagu Daerah Propinsi Kalimantan Tengah

ISEN MULANG
A.B. Sandan
Mamut menteng ureh utusku
Isen mulang je te penyangku
Gatang yoh gatang sewut sarita
Tandak ain tatu te
O pahari kawan balinga
Mina mama bakas tabela
Tanjung miar himbing lenge
Miar toh itah handiai
Lahap toh lahap wei
Ayo lahap lahap
Miar maju wei
Lahap toh lahap wei
Isen Mulang
Yoh akan penyangku
LEWUNGKU UTUSKU
A.B. Sandan
Jaka aku toh tau tarawang
Tarawang kilau burung tingang
Kalute angat je kanahuang
Manalih eka je ingenang
Kanih puna lewungku
Hon hete eka kulangku
Kanih eka utusku
Je paham inyayangku
KA DANAU
J.A. Sandan
Kakare pahari handiai
Has umba mambesei akan danau
Mambesei manalih panatau
Panatau ain utusku
Manalih danau ngaju lewu
Mahapan rangkan je puna laju
Buli andau tulak hanjewu
Manenan rengge buwu
Besei abas yoh
Besei ka danau
Hayak manyanyi
Handiai
Besei abas yoh
Besei ka danau
Mite kahalap
Danau te
MALAUK MANJALA
A.B. Sandan
Mambesei ayo mambesei
Mambesei akan danau
Mambesei ayo mambesei
Mambesei akan danau
Manjala
Lauk injala
Lalaya
Andau sasanja
Buli huma mimbit keba
Basuang pantik saluang
Sukup simpan
Dinu malauk manjala
 
                                                                                NANSARUNAI
U tutu mama 
Tawari wanga
Ware takam ngitung
Tumpuk asal takam
Daya inun ngulah
Takam puang ngitung
Tumpuk palanungkai
Ati pasai darai
U nansarunai
Udeu nansarunai
U nansarunai
Ati pasai darai

 
                                                                                   TUMPI WAYU
Tumpi wayu
Lapat wayu
Palit ira tangkuraran
Tulak hanyu
Muneng aku
Kala wunrung
Balu bayan


Pukul gandang garantung
Hayak dengan kangkanung
Sambil tuntang gantau
Miar mundur dan maju
Bahalai dan selendang
Imeteng intu kahang
Ngaliling sangkai lunuk
I pendeng intu bentuk
Ayo manari manasai . . .
Manari manasai . . .
Ela atun je melai . . .
Ayo manari manasai . . .
Manari manasai . . .
Ela atun je melai . . .
Bakas tuntang tabela
Keleh itah mahaga
Kesenian daerah
Ayun tatu hiang itah
Ayo manari manasai . . .
Manari manasai . . .
Ela atun je melai . . .
Ayo manari manasai . . .
Manari manasai . . .
Ela atun je melai . . .

Pakaian Adat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah


      Beratus tahun lalu masyarakat Dayak membuat busana dengan bahan dasar kulit kayu yang disebut kulit nyamu. Kulit kayu dari pohon keras ini ditempa dengan pemukul semacam palu kayu hingga menjadi lemas seperti kain. Setelah dianggap halus "kain" itu dipotong untuk dibuat baju dan celana.
      Model busananya sangatlah sederhana dan semata mata hanya untuk menutupi badan. Bajunya berupa rompi unisex tanpa hiasan apapun. Rompi sederhana ini dalam bahasa Ngaju disebut sangkarut. Celananya adalah cawat yang ketika dikenakan bagian depannya ditutup lembaran kain nyamu berbentuk persegi panjang yang disebut ewah. Busana itu berwarna coklat muda (warna asli kayu), tak diberi hiasan, tak pula diwarnai sehingga kesannya sangat alamiah.
      Akan tetapi naluri berdandan, yang konon telah bangkit pada hati setiap manusia sejak ribuan tahun silam, mengusik hasrat masyarakat Dayak Ngaju untuk "mempercantik" penampilan. Maka baju kulit kayu sederhana itu pun lalu dilengkapi dengan aksesori ikat kepala (salutup hatue untuk kaum lelaki dan salutup bawi untuk para perempuan), giwang (suwang), kalung, gelang, rajah (tatoo) pada bagian-bagian tubuh tertentu, yang bahannya juga dipungut dari alam sekitar. Biji-bijian, kulit kerang, gigi dan taring binatang dirangkai menjadi kalung, gelang terbuat dari tulang binatang buruan, giwang dari kayu keras, dan berbagai aksesori lainnya yang berasal dari limbah keseharian mereka. Kesederhanaan pakaian kulit kayu itu kemudian memancarkan esensi keindahan karena imbuhan warna warni flora dan fauna yang ditambahkan sebagai pelengkap busana.
       Pada perkembangan selanjutnya masyarakat Dayak Ngaju pun mulai membubuhkan warna dan corak hias pada busana mereka. Bahan pewarna itu secara kreatif diolah dari alam sekitar mereka. Misalnya saja, warna hitam dari jelaga, warna putih dari tanah putih dicampur air, warna kuning dari kunyit dan warna merah dari buah rotan. Corak hias yang digambarkan pada busana juga diilhami oleh apa yang mereka lihat di alam sekelilingnya. Maka tampillah bentuk flora dan fauna, bunga, dedaunan, akar pohon, burung, harimau akar, dan sebagainya yang menjadi corak hiasan busana adat mereka. Keyakinan dan alam mitologi juga memberi inspirasi pada penciptaan ragam corak hias busana adat sehingga gambar-gambar itu, selain tampil artistik, juga mempunyai makna simbolik. Pengaruh agama Hindu pada kepercayaan asal masyarakat Ngaju yang cenderung animistik, misalnya, melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai agama Hindu Kaharingan. Sinkretisme itu melahirkan berbagai keyakinan dan mitologi dan mengilhami lahirnya corak hias naga, manusia, dan sebagainya yang bermakna sangat filosofis.

Salah satu mitologi masyarakat Dayak Ngaju yang terkenal adalah tentang penciptaan alam yang melahirkan simbolisasi "pohon hayat" atau "pohon kehidupan" dalam bentuk corak hias yang dikenal dengan nama batang garing. Corak hias ini sangat berarti bagi masyarakat Dayak Ngaju sehingga busana adat untuk upacara penting - misalnya upacara tiwah (dalam kepercayaan Kaharingan, untuk mengantar ruh manusia yang meninggal dunia ke peristirahatannya), upacara meminta hujan, upacara pengobatan belian obat diharuskan mengenakan pakaian adat dengan corak hias batang garing. Selain itu, diatur pula pemakaian corak hias busana adat yang berbeda beda untuk perempuan dan laki laki serta beda pula untuk para pemuka kelompok, para tetua adat, panglima perang, kepala suku dan ahli pengobatan.
      Inovasi yang paling signifikan pada rancangan busana masyarakat Dayak adalah penguasaan keterampilan menjalin serat alam. Teknik menenun, konon, diperkenalkan kepada masyarakat Ngaju oleh orang-orang Bugis. Maka kulit kayu yang semula hanya ditempa menjadi lembaran-lembaran "kain", kini diolah dengan teknik yang memerlukan kesabaran dan konsentrasi tinggi. Dari kulit kayu yang telah dihaluskan mereka membuat serat yang dicelup oleh bahan pewarna alam sehingga dihasilkan benang yang tak tunggal warna. Mereka pun lalu menciptakan alat penjalin untuk "merangkai" serat demi serat menjadi bentangan bahan busana untuk baju, celana, ikat kepala, dan kelengkapan lainnya. Eksplorasi terus dilakukan untuk mencari bahan-bahan lain yang bisa dibuat benang. Mereka kemudian melirik rotan, rumput rumputan, akar tumbuhan, sehingga "kain" yang dihasilkan menjadi beragam. Rancangan dan fungsi busana pun turut berkembang. Pakaian yang dibuat bukan lagi hanya untuk fungsi yang paling mendasar yakni baju dan celana untuk melindungi bagian tubuh yang dianggap paling penting saja, tapi diperluas untuk keperluan lainnya. Umpamanya saja sangkarut perang dari jalinan rotan (sangkarut perang) untuk penahan tusukan anak panah, sumpit, dan tombak.


Contoh pakaian adat dayak ngajunya seperti di bawah ini :


      Kemudian, ketika orang-orang Cina dan India datang ke Kalimantan, mereka memperkenalkan manik-manik yang terbuat dari logam, keramik sehingga melengkapi yang sebelumnya telah dibuat masyarakat Ngaju yang terbuat dari biji-bijian, kayu, dan tulang. Selain untuk aksesori, manik manik itu juga kemudian diaplikasikan menjadi hiasan busana. Maka busana masyarakat Ngaju jadi semakin ornamentik dan semarak warna. Akan tetapi, hiasannya tetap mengekspresikan keakraban mereka dengan alam. Corak hiasnya masih menampilkan alam flora, fauna, dan mitologi. Dan kini pucuk rebung, burung enggang, ular, harimau akar, manusia, awan, batang garing, tampil pula dalam ekspresi yang lain.Temuan-temuan baru itu kemudian dikembangkan lagi secara kreatif oleh para perancang busana masyarakat Ngaju. Hasilnya adalah tata busana yang memadukan kulit kayu, jalinan serat alam, berhiaskan gambar pewarna alam, dan aplikasi manik-manik dan arguci. Jenis-jenis busana seperti ini sekarang pun masih bisa dibuat untuk berbagai keperluan, umpamanya saja, untuk kostum tarian, koleksi museum atau cendera mata.
      Busana tradisional masyarakat Ngaju yang beredar sekarang ini hampir seluruhnya dibuat dari kain tenun halus serat kapas atau sutra. Awalnya para pedagang Gujarat dari India yang datang ke Nusantara membawa serta kain-kain tenun halus sebagai barang dagangan. Kain-kain tersebut ditenun dari serat kapas atau sutra. Masyarakat Ngaju, terutama yang bermukim di daerah pesisir dan pusat kerajaan, memberikan apresiasi positif terhadap bahan busana yang sebelumnya tidak ada pada khasanah karya tenun mereka itu. Maka diadaptasilah teknik menenun kain halus itu dan kreativitas para penenun masyarakat Ngaju kemudian melahirkan juga kain tenun halus. Betapa tidak, karena ternyata alam Nusatara yang kaya raya juga menyediakan kapas dan sutra. Oleh karena itu busana pengantin, pakaian acara-acara adat, kostum tari saat ini kebanyakan dibuat dari kain beludru, satin atau sutra. Akan tetapi corak hias dan modelnya tidak bergeser jauh dari bentuk asalnya. Pakaian tradisional masyarakat Ngaju yang sekarang dianggap sebagai busana daerah Kalimantan Tengah dalam berbagai upacara adat adalah pengembangan dari busana tradisonal masa lampau.

Busana kaum perempuan terdiri dari baju kurung ngasuhui berlengan panjang atau pendek, dari kain satin atau beludru, yang pada bagian bawahnya diberi corak hias stilasi bentuk flora atau fauna. Paduannya rok panjang sebatas betis, disebut salui, dari kain yang sama yang juga diberi corak hias berupa penggayaan bentuk flora atau fauna. Rambut yang disanggul bentuk sanggul lipat atau dibiarkan terurai dihias ikat kepala, lawung bawi, dari kain yang sewarna dengan baju dengan sehelai bulu burung haruei yang diselipkan pada ikat kepala bagian belakang. Dan aksesori yang dikenakannya adalah kalung manik-manik, dan anting-anting atau suwang.

Selasa, 12 November 2013

KUMPULAN CERITA RAKYAT DARI KALIMANTAN TENGAH

                                                      LEGENDA SUNGAI SANGI

Pada zaman dahulu kala, di Kalimantan Tengah, hiduplah seorang pemburu tangguh
bernama Sangi. Ia sangat ahli dalam menyumpit binatang buruan. Sumpitnya selalu mengenai sasaran. Setiap kali berburu, ia selalu berhasil membawa pulang banyak daging binatang buruan.
Sangi tinggal di daerah aliran Sungai Mahoroi, anak Sungai Kahayan. Ia tinggal bersama keluarga dan kerabatnya. Mereka hidup dari bercocok tanam di ladang dan berburu. Ladang mereka masih sering berpindah-pindah. Selain itu, mereka juga mencari bahan pangan dari tumbuh-tumbuhan yang terdapat di hutan-hutan pedalaman.
Pada suatu hari, seperti biasa Sangi pergi berburu. Namun hari itu, ia sangat kesal. Dari pagi hingga sore, tidak
seekor binatang buruan pun yang diperolehnya. Karena hari mulai senja, ia berniat pulang.
Dalam perjalanan pulang, Sangi melihat air tepi sungai sangat keruh. ”Sepertinya baru saja seekor babi hutan lewat di tepi sungai itu,” kata Sangi dalam hati. Karena penasaran, Sangi kemudian memeriksa bekas jejak kaki babi di tanah. Ternyata dugaan Sangi benar. Ia melihat bekas jejak kaki babi hutan di tanah menuju ke arah sungai. Dengan penuh harap, Sangi mengikuti arah jejak binatang itu. Tidak seberapa jauh dari sungai, ia menemukan babi hutan yang dicarinya. Namun sayang, sebagian dari tubuh babi hutan itu telah berada di mulut seekor naga. Pemandangan itu sangat mengerikan dan menakutkan Sangi. Ia tidak bisa berteriak. Dengan pelan-pelan, ia beranjak dari tempatnya berdiri lalu bersembunyi di tempat yang tidak jauh dari naga itu.
Dari balik tempatnya bersembunyi, Sangi menyaksikan naga itu berusaha menelan seluruh tubuh babi hutan. Meskipun naga itu telah mencobanya berulang-ulang, namun usahanya selalu gagal. Karena kesal, akhirnya naga itu pun menyerah. Dengan murka ia palingkan wajahnya ke arah Sangi yang sejak tadi memerhatikannya.
Mengetahui hal tersebut, Sangi sangat ketakutan. Badannya gemetaran. ”Waduh gawat! Naga itu ternyata mengetahui keberadaan saya di sini. Jangan-jangan...naga itu hendak memangsa saya,” gumam Sangi dengan cemasnya. Baru saja ucapan itu lepas dari mulut Sangi, dalam sekejap mata bayangan naga itu menghilang dan menjelma menjadi seorang pemuda tampan. Sangi sangat heran. Ketakutannya berubah menjadi ketakjuban.
Tiba-tiba, pemuda tampan itu menghampiri Sangi dan memegang lengannya. “Hei, anak muda! Telan babi hutan itu! Kamu tidak seharusnya mengintip naga yang sedang menelan mangsanya!” bentak pemuda tampan itu. ”Saa…saa… ya…tidak bisa,” kata Sangi ketakutan. ”Bagaimana mungkin saya dapat menelan babi hutan sebesar itu?” tambahnya. “Turuti perintahku! Jangan membantah!” seru pemuda tampan itu tak mau dibantah.
Mendengar bentakan itu, Sangi tidak bisa menolak apa yang diperintahkan pemuda tampan itu. Sangi kemudian mendekati babi yang tergeletak di tanah tak jauh darinya. Sungguh ajaib, dengan mudah Sangi menelan babi hutan itu, seolah-olah ia seekor naga besar. Sangi pun terheran-heran pada dirinya sendiri. ”Kenapa hal ini bisa terjadi? Ini benar-benar tidak masuk akal,” kata Sangi dalam hati. “Karena kamu telah mengintip naga yang tengah memakan mangsanya, maka sejak itu pula kamu telah menjadi naga jadi-jadian. Kamu tidak dapat menolak apa yang sudah terjadi,” ujar pemuda tampan itu menjelaskan.
”Apa? Aku tidak mau jadi seekor naga jadi-jadian. Aku mau jadi manusia biasa!” seru Sangi tidak terima. ”Tuan, jadikan aku menusia biasa saja!” serunya memohon. Mendengar permohonan Sangi, pemuda tampan itu tertawa terbahak-bahak, ”Haa...haa...haa..., kamu tak perlu cemas anak muda. Selama kamu dapat merahasiakan kejadian ini, kamu dapat terus menjadi manusia,” jelas si pemuda tampan. Bernakah itu tuan?” tanya Sangi tak percaya. Karena masih dihantui rasa penasaran, Sangi kemudian bertanya lagi kepada pemuda tampan itu, ”Apa keistimewaan menjadi seekor naga jadi-jadian itu?” sambil tersenyum, pemuda tampan itu menjawab, ”Sebenarnya kamu orang yang sangat beruntung. Dengan demikian, kamu akan terus awet muda. Banyak orang ingin awet muda, akan tetapi tidak bisa. Sedangkan kamu, dengan mudah mendapatkannya”. Sangi sangat senang mendengar jawaban itu, ”Wah, menyenangkan sekali kalau begitu, Saya bisa hidup selama beratus-ratus tahun.” Lalu, Sangi bertanya kembali, ”Apa larangannya?” Pemuda tampan itu menjawab, ”Kamu tidak boleh menceritakan hal ini kepada siapa pun. Jika kamu melanggarnya, wujudmu akan menjelma menjadi seekor naga. Kamu paham?” tanya pemuda tampan itu. ”Wah...mudah sekali larangannya tuan. Kalau begitu saya bersedia untuk mematuhi larangan itu,” jawab Sangi dengan mantap. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba pemuda tampan di hadapannya itu menghilang entah ke mana. Sangi pun bergegas pulang ke rumahnya.
Sejak itu, Sangi terus menjaga agar rahasianya agar tidak diketahui orang lain, termasuk kerabat dan keluarga terdekatnya. Dengan begitu, ia tetap awet muda sampai usia 150 tahun. Hal ini membuat para kerabat, anak cucu, dan cicitnya ingin mengetahui rahasianya hingga tetap awet muda. Mereka juga ingin seperti Sangi. Panjang umur, sehat, dan awet muda.

Setiap hari, mereka terus bertanya kepada Sangi mengenai rahasianya. Karena didesak terus-menerus, akhirnya Sangi membeberkan rahasia yang telah lama ditutupinya. Dengan demikian, Sangi telah melanggar larangan yang dikiranya mudah itu. Akibatnya, tubuhnya mulai berganti rupa menjadi seekor naga. Kedua kulit kakinya pelan-pelan berganti menjadi sisik tebal, dan akhirnya berubah menjadi seekor naga yang besar dan panjang. Menyadari hal itu, Sangi kemudian menyalahkan seluruh keturunannya yang terus mendesaknya hingga ia membeberkan rahasianya. Hal inilah yang membuat Sangi sangat marah dan geram. ”Kalian memang jahat! Kalian semua akan mati!” seru Sangi
dengan geram.
Setelah itu, Sangi lari ke sana ke mari dengan marah. Seluruh badannya terasa panas Akhirnya, tubuhnya menjelma menjadi seekor naga. Sebelum menceburkan diri ke dalam sungai, ia sempat mengambil harta pusaka yang lama disimpannya dalam sebuah guci Cina. Guci itu berisi perhiasan dan kepingan-kepingan emas. Sangi terus berlari ke sungai. Setibanya di Sungai Kahayan, ia segera menyebarkan perhiasan dan kepingan-kepingan emas itu sambil berseru, ”Siapa saja yang berani mendulang emas di daerah aliran sungai ini, maka ia akan mati. Emas-emas itu akan menjadi tumbal kematiannya!”
Setelah itu, Sangi yang telah menjelma menjadi seekor naga, menceburkan diri ke dalam hulu sungai. Sejak itu, ia menjadi penjaga Sungai Kahayan. Anak Sungai Kahayan itu kemudian disebut pula sebagai Sungai Sangi. Anak keturunan Sangi yang mempertanyakan rahasianya banyak yang meninggal setelah itu.
                                
                                                                      BAWI KUWU TUMBANG RAKUMPIT

konon sekitar abad ke-18, di sebuah kampung sekitarpertengahan aliran Sungai Rungan tepatnya di Kelurahan Mungku Baru Kecamatan Rakumpit, tinggallah Bawi Kuwu dan kedua orangtuannya. Ketika beranjak dewasa wanita cantik itu dilarang orangtuannya untuk keluar rumah dan lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam
kamar dengan dikawal dayang-dayang yang setia mengawal dan menjaga hingga bertahun-tahun lamanya. Pada suatu ketika, kedua orangtua Bawi Kuwu ingin pergi keladang lalu berpesan kepada dayang-dayang untuk menjaga anak kesanyangan mereka itu di dalam rumah. tidak lama setelah kedua orangtuannya itu pergi, tiba-
tiba Bawi Kuwu merasakan kepanasan dan ingin madi di Sungai Rungan yang letaknya tidak jauh dari rumah mereka, tentu para dayang yang mengawal Bawi Kuwu melarangnya untuk keluar rumah, apalagi untuk pergi sendiri ke sungai. Lalu dayang-dayang itu mengambilkan air kesuangai Rungan untuk memandikan Bawi Kuwu di dalam rumah, tetapi keinginan dari para dayang itu ditolaknya dan tetap bersikeras untuk pergi sendiri kesuangai itu. Suasana hampir tidak terkendali tetapi akhirnya para dayang berhasil mencegah keinginan Bawi Kuwu tersebut. Selang beberapa lama kemudian, rupanya perlakuan dari para dayang itu malah membuat Bawi Kuwu merasa penasaran. Setelah melihat situasi aman dan lepas dari pengawalan, Bawi Kuwu pergi ke Sungai Rungan dengan diam-diam tanpa ada yang tahu. Sesampainya di tepi sungai, tepatnya diatas Lanting (rakit dari kayu dalam bahasa suku dayak) kejadian naas menimpa gadis cantik itu. Tiba-tiba buaya besar muncul ke permukaan air dan menyambar Bawi Kuwu yang belum sempat mandi di sungai itu, lalu membawannya ke sarangnya di dalam sungai. Sementara itu situasi di dalam rumah geger setelah para dayang menyadari bahwa Bawi Kuwu tidak ada didalam kamar. Kemarahan besar muncul dari kedua orangtua Kuwu kepada dayang-dayang, karena telah lalai sehingga mereka tidak mengetahui kemana perginya anak kesayangan mereka itu. Lalu hari itu juga mereka memanggil para tokoh adat dan orang-orang yang memiliki kesaktian dari suku dayak.
Tiga hari tiga malam lamanya, mereka mengadakan ritual dalam suku dayak untuk mencari Bawi kuwu, dan pada suatu malam, saudara laki-laki dari Bawi Kuwu bermimpi bertemu dengan Patahu (orang gaib suku dayak)
dan memberikan petunjuk bahwa Bawi Kuwu masih hidup dan sekarang berada didalam perut
buaya yang telah membawannya itu. Orang gaib itu juga berpesa apabila buaya itu muncul, jangan sekali-kali membunuhnya. Lalu saudarnya itu terbangun dari tidur dan menceritakan tentang mimpinya itu. Ketika itu juga mereka mencari Pangareran (Pawang buaya dalam bahasa suku dayak), dan tepat pada hari ketiga dalam ritual itu, buaya yang membawa Bawi Kuwu muncul dari Sungai Rungan lalu bergerak menuju daratan. Setelah melihat buaya besar itu datang, tiba-tiba rasa sedih bercampur amarah muncul dari saudara laki-laki Bawi Kuwu. Mungkin karena begitu menyayangi adiknya membuatnya kalap dan lupa akan pesan orang gaib yang menjumpainya didalam mimpi, lalu ia menombak buaya itu sehingga akhirnya mati. Setelah melihat kejadian itu, mereka langsung membelah perut buaya dengan peralatan seadanya dan mendapati Bawi Kuwu yang juga sudah tidak bernyawa lagi, mati bersama-sama dengan buaya itu. Akhirnya suasana duka menyelimuti seluruh kerabat dan semua yang menyaksikan peristiwa itu.
 

                          MANUSIA HANTU (HANTUEN)

Dahulu kala, di Baras Semayang hiduplah sebuah keluarga yang memiliki seorang anak gadis bernama Tapih. Suatu hari, Saat Tapih mandi di sungai, tiba-tiba topi tanggul dareh (topi yang tepinya lebar dan khusus dipergunakan pada upacara khusus) miliknya dihempaskan angin kencang dan jatuh di sungai. Topi itu kemudian terbawa arus sungai yang cukup deras.
Karena topi itu dianggap bukan sembarang topi, maka Tapih dan orang tuanya menyusuri setiap desa yang terletak di sepanjang sungai Rungan untuk mencarinya.
Ditanyainya setiap orang desa yang ditemui, namun mereka tak ada yang mengetahuinya. Akhirnya, Tapih dan orang tuanya tiba di desa Sepang Simin dan menemukan kembali topi  itu. Ternyata topi  itu dipungut oleh seorang pemuda bernama Antang Taung. Orang tua Tapih menghadiahi pemuda itu emas, namun Antang Taung menolaknya. Sebagai gantinya, ia meminta Tapih untuk dijadikan istrinya. Permintaan itu di setujui oleh orang tua Tapih.
Tak lama kemudian, Antang dan Tapih dinikahkan di desa Baras Semanyang. Menurut adat setempat, sepasang mempelai baru harus berdiam di rumah kedua orang tua masing-masing secara berfiliran. Mereka merasa sangat berat untuk memenuhi adat ini karena diantara kedua desa mereka terdapat hutan yang cukup lebat.
Untuk pemecahan masalah itu, diputuskan membuat jalan yang dapat menghubungken kedua desa tanpa melalui hutan tersebut.  Pembuatan jalan di mulai dari Baras Semayang. Pekerjaan mereka mulanya mengalami gangguan makhluk gaib. Setiap kali pekerja pulang, gubuk tempat mereka beristirahat telah dimasuki orang dan bekal makanan mereka dicuri.
Hingga suatu hari, mereka menemukan akal. Mereka berbuat seolah-olah meninggalkan gubuk untuk bekerja, tetepi sebenarnya mereka bersembunyi di balik semak yang tak jauh dari tempat itu. Dari tempat persembuyian itu , mereka dapat melihat seekor binatang angkes (sejenis landak) sedang menaiki tangga gubuk. Setelah masuk kedalam, binatang itu menggoyang-goyangkan tubuhnya, dan secara ajaib berubah menjadi seorang pemuda yang tampan.
Melihat hal itu para pekerja segera meringkus dan berhasil menangkapnya. Ia minta ampun agar dilepaskan, jika ia dilepaskan ia berjanji akan membantu para pekerja membuat jalan. Akhirnya permintaan itu diluluskan. Anehnya, pemuda jelmaan binatang angkes tadi berhasil menyelesaikan pembuatan jalan yang cukup panjang hanya dalam waktu tiga hari. Mengetahui akn hal itu Tapih dan suaminya sangat kagum kepada pemuda jadi-jadian itu dan mereka mengambilnya sebagai anak angkat. Kini, dengan adanya jalan itu, suami istri itu dapat mondar mandir kedesa masing-masing dengan mudah tanpa harus melewati hutan yang cukup lebat itu.
Beberapa waktu kemudian Tapih pun mengandung. Saat itu mereka berada di desa Sepang Simin. Calon ibu muda itu mengidam ingin makan ikan, maka Antang Taung segera pergi kesungai untuk menangkap ikan. Saat itu ia mendapat hasil cukup lumayan. namun,ketika ia akan mendarat ke desa dengan biduknya,tiba-tiba turun hujan besar. Dengan tergesa –gesa ia lari pulang,dan tanpa ia sengaja telah meninggalkan seekor ikan tomang di dalam perahunya.
Keesokan harinya,ketika ia kembali ke perahu untuk mengambilnya ,ternyata ikan itu telah lenyap. Sebagai gantinya , ditempat itu terbaring seorang bayi perempuan. Anak itu kemudian di bawa pulang oleh Antang Taung dan anak itu kemudian diangkat menjadi anak angkat mereka. Anehnya, bayi perempuan temuan mereka itu tumbuh dengan cepatnya. Dalam waktu beberapa bulan saja ia sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik. Gadis jelmaan ikan tomang itu kemudian jatuh cinta pada pemuda jelmaan binatang angkes. Dan keduanya kemudian dikawinkan. Mereka menjadi suami istri yang bahagia.
Tak lama kemudian mereka melahirkan seorang anak laki-laki. Akan tetapi, anak itu mati tak lama setelah lahir. Betapa sedih kedua manusia jelmaan binatang itu. sKesedihan lain pun muncul. Beberapa hari kemudian saudara laki-laki angkat mereka, yakni putera Tapih dan Antang Taung juga meninggal. Menurut adat, orang yang meninggal harus dilakukan dua kali upacara kematian, sebelum arwahnya dapat menuju ke Lewu Tatau (Sorga orang Dayak Ngaju). Pada upacara pertama jenazah dikebumikan dan pada upacara kedua, jenazah yang sudah tinggal tulang belulang itu dibakar. Hal ini dimaksudkan untuk membebaskan roh seseorang dari badan kasarnya untuk selama-lamanya. Sifat upacara ini mewah sekali dan disebut dengan nama Tiwah.
Ketika mendengar bahwa saudara angkatnya hendak di tiwahkan, suami istri jelmaan binatang itu ingin juga agar anaknya yang telah meninggal dibakar dalam upacara tersebut. Niat itu sangat di tentang oleh Tapih dan Antang Taung, tapi mereka tak menghiraukan dan bersikukuh dengan niat itu.
Dan terjadi sesuatu yang menghebohkan ketika kuburan anak suami istri jadi-jadian itu di gali. Ternyata yang tinggal bukan tulang belulang manusia melainkan tulang belulang binatang dan ikan. Kejadian itu membuat malu besar pada kedua suami istri asal binatang itu, sehingga akhirnya mereka menyinkir dari desa Sepang Simin dan membangun sebuah desa di hutan belantara. Didesa itu mereka kemudian berkembang biak menjadi suatu keluarga besar. Keturunannya kemudian dikenal dengan sebutan Hantuen.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, orang hantuen yang asli sudah tidak ada. Yang ada hanyalah keturunannya yang sudah kawin dengan manusia biasa. Orang yang memiliki darah hantuen dipercaya akan memiliki kemampuan untuk mengubah diri menjadi hantu jadi-jadian (hantuen). Pada siang hari mereka akan menjadi manusia biasa, tetapi pada malam hari mereka akan mengubah dirinya menjadi hantu tanpa tubuh yang gemar menghisap darah.

RUMAH BETANG, RUMAH ADAT DAN BUDAYA DAYAK YANG HAMPIR TERSINGKIRKAN


      Rumah Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan, terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi suku Dayak untuk melakukan berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti pergi bekerja ke ladang dimana ladang suku Dayak biasanya jauh dari pemukiman penduduk, atau melakukan aktifitas perdagangan (jaman dulu suku Dayak biasanya berdagang dengan menggunakan system barter yaitu dengan saling menukarkan hasil ladang, kebun maupun ternak).
         Bentuk dan besar rumah Betang ini bervariasi di berbagai tempat. Ada rumah Betang yang mencapai panjang 150 meter dan lebar hingga 30 meter. Umumnya rumah Betang di bangun dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari tanah. Tingginya bangunan rumah Betang ini saya perkirakan untuk menghindari datangnya banjir pada musim penghujan yang mengancam daerah-daerah di hulu sungai di Kalimantan. Beberapa unit pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih dari satu buah tergantung dari besarnya rumah tangga anggota komunitas hunian tersebut. Setiap rumah tangga (keluarga) menempati bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Betang yang besar tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki rumah-rumah tunggal yang dibangun sementara waktu untuk melakukan aktivitas perladangan, hal ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang dengan tempat pemukiman penduduk.

         Lebih dari bangunan untuk tempat tinggal suku dayak, sebenarnya rumah Betang adalah jantung dari struktur sosial kehidupan orang Dayak. Budaya Betang merupakan cerminan mengenai kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat. Keamanan bersama, baik dari gangguan kriminal atau berbagi makanan, suka-duka maupun mobilisasi tenaga untuk mengerjakan ladang. Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di rumah Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di antara para warga yang menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Dari sini kita mengetahui bahwa suku Dayak adalah suku yang menghargai suatu perbedaan. Suku Dayak menghargai perbedaan etnik, agama ataupun latar belakang sosial.

Rumah Betang
Rumah Betang

         Tetapi pada masa sekarang pun banyak orang luar (bahkan orang Indonesia sendiri) beranggapan bahwa suku Dayak adalah suku yang tertutup, individual, kasar dan biadab. Sebenarnya hal ini merupakan suatu kebohongan besar yang diciptakan oleh para colonial Belanda waktu masa perjuangan kemerdekaan Indonesia untuk memecah belah persatuan dan kesatuan terutama di antara suku Dayak sendiri yang pada saat itu menjunjung tinggi budaya rumah Betang. Dan kebohongan tersebut masih dianggap benar sampai sekarang oleh mereka yang tidak mengenal benar orang Dayak. Sebagai contoh, tulisan karya orang Belanda bernama J. Lameijn yang berjudul Matahari Terbit, dimana tulisan tersebut sangat merendahkan martabat masyarakat Dayak. Bagian tulisan itu sebagai berikut.
…. Setelah habis pertcakapan itu, cukuplah pengetahuan saya tentang orang Dayak. Sebelum itu saya sudah tahu, bahwa orang Dayak itu amat kasar dan biadab tabiatnya. Kalau tiada terpaksa, tiadalah saja berani berjalan sendiri ditanahnya, karena tentulah saja akan kembali tiada berkepala lagi”.
Citra buruk masyarakat Dayak di perparah lagi dengan timbulnya kerusuhan-kerusuhan etnis yang terjadi di Kalimantan yang di ekspos besar-besaran hingga keluar negeri (terutama melalui media internet) tanpa memandang sebab sebenarnya dari kerusuhan tersebut hanya memandang berdasarkan pembantaian massal yang terjadi, seperti kerusuhan di Kalimantan Barat (Sambas) dan Kalimantan Tengah (Sampit dan Palangkaraya). Kota Sampit saat kerusuhan pertama kali pecah tanggal 18 Februari 2001. Kerusuhan etnis di Sampit dan Palangkaraya tersebut bukanlah akibat adanya tokoh-tokoh intelektual yang ingin mengacaukan keadaan atau perasaan cemburu suku Dayak karena etnis tertentu lebih berhasil dalam mencari nafkah di Kalimantan, tetapi lebih kepada terlukanya perasaan masyarakat Dayak yang dipendam selama bertahun-tahun akibat tidak di hargainya budaya Betang yang mereka miliki oleh etnis tertentu, hingga perihnya luka tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh masyarakat Dayak dan akhirnya mengakibatkan pecahnya konflik berdarah tersebut. Seharusnya etnis tertentu tersebut lebih memahami pepatah “Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, bukannya bersikap arogan dan ingin menang sendiri serta tidak menghargai budaya lokal (budaya rumah Betang yang menjunjung nilai kebersamaan, persamaan hak, saling menghormati, dan tenggang rasa ).
       Kini, rumah betang yang menjadi hunian orang Dayak berangsur-angsur menghilang di Kalimantan. Kalaupun masih bisa ditemukan penghuninya tidak lagi menjadikannya sebagai rumah utama, tempat keluarga bernaung, tumbuh dan berbagi cerita bersama komunitas. Rumah Betang tinggal menjadi kenangan bagi sebagian besar orang Dayak. Di beberapa tempat yang terpencar, rumah Betang dipertahankan sebagai tempat untuk para wisatawan. Sebut saja, misalnya di Palangkaraya terdapat sebuah rumah Betang yang dibangun pada tahun 1990-an tetapi lebih terlihat sebagai monumen yang tidak dihuni. Generasi muda dari orang Dayak sekarang tidak lagi hidup dan dibesarkan di rumah Betang. Rumah Betang konon hanya bisa ditemukan di pelosok, pedalaman Kalimantan tanpa mengetahui persis lokasinya. Pernyataan tersebut tentu saja mengisyaratkan bahwa rumah Betang hanya tinggal cerita dari tradisi yang berasosiasi dengan keterbelakangan dan ketertinggalan dari gaya hidup modern.
         Dan sekarang, dalam menghadapi kehidupan modern yang sangat individualis, yang hanya mementingkan kepentingan pribadi, materi dan penuh kemunafikan, masihkan budaya rumah Betang menjadi tatanan hidup bersama di Kalimantan ataukah budaya ini akan ikut menghilang seperti menghilangnya bangunan rumah Betang di Kalimantan.

Kamis, 07 November 2013

TARIAN DAERAH KALIMANTAN TENGAH

            A.   Tari Dadas
  Tari Dadas adalah sebuh tari yang berasal dari daerah Barito Selatan. Tarian ini adalah tarian muda-mudi dayak. Dengan menggunakan gelang dadas nuansa tari semakin terasa karena ditampilkan dengan musik yang seirama dengan gerak dan tari para penarinya.
Adapun alat musik yang digunakan untuk menarikan tarian Dadas ini adalah gong, kangkanung, gendang dan alat musik khas masyarakat lainnya.
             B.    Tari Manggetem
Tari Manggetem adalah tarian kegembiraan masyarakat dayak dalam hal mensyukuri hasil panen yang berlimpah.
            C.   Tarian Pagar Ruyung
Tarian dari Kabupaten Lamandau ini sering sekali ditampilkan untuk menyambut kedatangan tamu dari luar daerah. Tamu dari luar daerah mulai dari Bupati/Walikota dari daerah lain, Gubernur, Presiden  dll.
             D.   Tari Potong Pantan
Tarian memakai pakaian khas suku Dayak dengan hiasan bulu burung tingang di atas kepala. Tari Potong Pantan ini juga dilengkapi mandau (senjara khas Dayak) sebagai propertis. Biasanya tarian ini ditampilkan untuk menyambut tamu dalam acara resmi.
            E.    Tari Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari. Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan perlatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
            F.    Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Kancet Ledo menggambarkan kelemah-lembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin. Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua belah tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
            G.   Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
            H.   Tari Leleng
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.
             I.      Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.
             J.     Tari Hudoq Kita
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita' dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita' menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita', yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
            K.   Tari Serumpai
Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu). 
            L.    Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.
            M. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
             N.   Tari Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
            O.   Tari Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.
            P.    Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.
            Q.   Tari Baraga' Bagantar
Awalnya Baraga' Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.
             R.   Tari Giring-Giring
Tari Giring-giring adalah salah satu tarian daerah Kalteng dan kab. Bartim pada khususnya. Tarian ini dipopulerkan oleh kalangan suku Dayak Ma’anyan dan ditarikan dalam acara-acara bergembira, menyambut tamu dan juga sebagai selingan pada pesta-pesta atau acara tertentu. Selain itu, tari Giring-giring ini juga digunakan sebagai tarian pergaulan di kalangan muda-mudi.
  Cara menarinya yaitu dengan menghentakkan satu tongkat ke lantai yang dipegang di tangan kiri dan di tangan kanan memegang bambu yang di dalamnya berisi kerikil sambil digoyang-goyang agar mendapatkan bunyi, sedangkan kaki maju mundur mengikuti irama lagu.
S. Tari Mandau
Tari Mandau. Tarian Mandau merupakan satu dari sekian banyak jenis tari yang lahir dari kultur Budaya masyarakat Suku Dayak di Kalimantan Tengah. Tari Mandau Suku Dayak simbolisasi dari semangat juang masyarakat Suku Dayak dalam membela harkat dan martabatnya.

Selain menggambarkan patriotisme warga Bumi Tambun Bungai untuk menjaga tanah kelahirannya, Tari Mandau Suku Dayak Kalteng juga merupakan simbolisasi keperkasaan pria Suku Dayak Kalimantan Tengah dalam menghadapi segala macam tantangan dalam aspek kehidupan.

Dalam setiap pertunjukan atau persembahan Tari Mandau diringi alunan suara kemerduan Gandang dan Garantung bertalu kencang. Harmonisasi perangkat musik tradisional tersebut memunculkan irama penuh semangat, seolah mengajak mereka yang mendengar dan menyaksikan persembahan Tari Mandau semakin bersemangat layaknya pejuang Suku Dayak yang siap terjun ke medan juang.

Kelompok penari Tari Mandau seringkali dilengkapi dengan menggenggam Mandau pada tangan sebelah kanan, sedangkan di tangan kiri Talawang menangkis serangan musuh sebagai tameng kokoh suku Dayak juga tampil menyempurnakan Tari Mandau Suku Dayak yang ditampilkan.

Ciri Khas Suku Dayak Kalimantan Tengah


Suku Dayak

Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.

ASAL MULA
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.

Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.

Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).

Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)

Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.

Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.

Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)

Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.

* Upacara Tiwah

Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.

Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).

* Dunia Supranatural

Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.

* Mangkok merah.

Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.

Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.

Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.

Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.

Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.

Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).

PROSES PENGUBURAN SUKU DAYAK MAANYAN

Setelah seseorang dari suku Dayak Maanyan dinyatakan meninggal maka dibunyikanlah gong beberapa kali sebagai pertanda ada salah satu anggota masyarakat yang meninggal. Segera setelah itu penduduk setempat berdatangan ke rumah keluarga yang meninggal sambil membawa sumbangan berupa keperluan untuk penyelenggaraan upacara seperti babi, ayam, beras, uang, kelapa, dan lain-lain yang dalam bahasa Dayak Maanyan disebut nindrai.

Beberapa orang laki-laki pergi ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar dan menebang pohon hiyuput (pohon khusus yang lembut) untuk dibuat peti mati. Kayu yang utuh itu dilubangi dengan beliung atau kapak yang dirancang menyerupai perahu tetapi memakai memakai tutup. Di peti inilah mayat nantinya akan dibaringkan telentang, peti mati ini dinamakan rarung.

Seseorang yang dinyatakan meninggal dunia mayatnya dimandikan sampai bersih, kemudian diberi pakaian serapi mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar bamban yang diatasnya dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan ujung kaki dinyalakan lampu tembok atau lilin. Kemudian sanak famili yang meninggal berkumpul menghadapi mayat, selanjutnya diadakan pengambilan ujung rambut, ujung kuku, ujung alis, ujung bulu mata, dan ujung pakaian si mati yang dikumpulkan menjadi satu dimasukkan ke sebuah tempat bernama cupu. Semua perangkat itu dinamakan rapu yang pada waktu penguburan si mati nanti diletakkan di atas permukaan kubur dengan kedalaman kurang lebih setengah meter.

Tepat tengah malam pukul 24.00 mayat dimasukkan ke dalam rarung sambil dibunyikan gong berkali-kali yang istilahnya nyolok. Pada waktu itu akan hadir wadian, pasambe, damang, pengulu adat, kepala desa, mantir dan sanak keluarga lainnya untuk menghadapi pemasukan mayat ke dalam rarung.

Pasambe bertugas menyiapkan semua keperluan dan perbekalan serta peralatan bagi si mati yang nantinya disertakan bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas menuturkan semua nasihat dan petunjuk agar amirue (roh/arwah) si mati tidak sesat di perjalanan dan bisa sampai di dunia baru. Wadian di sini juga bertugas memberi makan si mati dengan makanan yang telah disediakan disertai dengan sirih kinangan, tembakau dan lain-lain.

Jika penuturan wadian telah selesai tibalah saatnya orang berangkat mengantar peti mati ke kuburan. Pada saat itu sanak keluarganya menangisi keberangkatan sebagai cinta kasih sayang kepada si mati. Menunjukkan ketidakinginan untuk berpisah tetapi apa daya tatau matei telah sampai dan rasa haru mengingat semua perbuatan dan budi baik si mati selagi berada di dunia fana.

1. Sipet / Sumpitan.Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 – 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ – ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.
2. Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.
3. Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
4. Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.
5. Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.

Totok Bakakak (kode) yang umum dimengerti Sukubangsa Dayak

1. Mengirim tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti menyatakan perang, dalam bahasa Dayak Ngaju “Asang”.
2. Mengirim sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah seorang gadis yang ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang.
3. Mengirim seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya.
4. Mengirim tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti mohon bantuan sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapat bahaya.
5. Mengirim Abu, berarti ada rumah terbakar.
6. Mengirim air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati tenggelam, harap lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena tenggelam, pada saat mengabarkan berita duka kepada sanak keluarga, nama korban tidak disebutkan.
7. Mengirim cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga yang telah tua meninggal dunia.
8. Mengirim telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual belanga, tempayan tajau.
9. Daun sawang/jenjuang yang digaris dan digantung di depan rumah, hal ini menunjukan bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena adanya pantangan adat.
10. Bila ditemukan pohon buah-buahan seperti misalnya langsat, rambutan, dsb, didekat batangnya ditemukan seligi dan digaris dengan kapur, berarti dilarang mengambil atau memetik buah yang ada dipohon itu.

BERBURU ALA SUKU DAYAK

Anda pernah berburu? Atau justru Anda memang mempunyai hobi berburu? Bagaimana cara Anda berburu? Menunggu binatang buruan dan tembak langsung?

Suku Dayak yang hidup merambah di hutan-hutan mempunyai cara unik dalam berburu binatang. Salah satunya yang saya temui pada suatu kesempatan ekspedisi ke Kalimantan Timur, tepatnya di desa Long Loreh Kabupaten Tarakan.

Untuk berburu mereka tidak menunggu binatang buruannya datang mendekati mereka tetapi mereka memanggil binatang yang diinginkannya untuk datang mendekati mereka. Caranya?

Caranya tergantung dari binatang apa yang mereka buru. Misalnya, untuk binatang rusa mereka akan menirukan suara anak rusa dengan menggunakan sejenis daun serai yang dilipat melintang dan ditiup. Hasil tiupannya akan muncul suara seperti suara anak rusa. Kenapa begitu? “Karena Rusa selalu melindungi anaknya. Dengan mendengar suara ini dia merasa anaknya membutuhkan pertolongan” demikian keterangan yang saya peroleh dari seorang pemburu disana.

Bagaimana dengan binatang lainnya? Celeng (Babi hutan) suka sekali diambil kutunya oleh Beruk (monyet besar), maka untuk memanggil celeng, si pemburu akan menepuk pantat mereka berulang kali sehingga muncul suara seperti Beruk menepuk badannya. Sedangkan Beruk tidak pernah menjadi target buruan. “Rasanya seperti makan daging manusia” demikian alasan mereka.

Memanggil (tepatnya mengejar) Babi adalah tugas para anjing peliharaan si pemburu yang akan selalu diajak selama berburu karena anjing mempunyai penciuman yang tajam. Kalau ingin berburu Enggang, burung besar yang suka terbang si pemburu akan menirukan suara burung tersebut yang mirip suara Elang. “KooaaaaK” kira-kira begitu.

Alat berburu yang mereka gunakan hanyalah tombak atau sumpit. Karena sumpit mereka panjang, biasanya sumpit tersebut bisa juga digunakan sebagai tombak. Jarum sumpit yang digunakan berburu diolesi dengan ramuan racun yang berfungsi hanya melumpuhkan atau bahkan mematikan.

Selama berburu mereka juga menghitung waktu dan arah angin. Perhitungan waktu berkaitan dengan aktivitas binatang buruan sementara arah angin untuk membantu mereka mennetukan posisi untuk menyembunyikan diri. Bersedianya binatang buruan mendekati mereka sangat dipengaruhi oleh bau asing yang dibawa angin.

Hal yang bisa diambil dari kehidupan suku Dayak adalah kearifan tradisional sangat melekat mereka bahkan dalam hal berburu. Mereka hanya berburu pada saat-saat tertentu di mana persediaan lauk mereka sudah mulai menipis atau mereka akan mengadakan pesta. Suku Dayak sangat menghormati alam. Karena bagi mereka alam memberikan mereka semua kebutuhan yang mereka perlukan tergantung bagaimana kita memanfaatkan dan mengelolanya.

Senin, 04 November 2013

SENI MUSIK


Kalimantan Tengah adalah salah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Ibukotanya adalah Palangka Raya.
Provinsi ini mempunyai 13 kabupaten dan 1 kotamadya.
Kalimantan tengah memiliki berbagai macam seni musik dan instrumen musik.
Seni musik di Kalimantan Tengah :
  1. Mansana Kayau
Mansana Kayau ialah kisah kepahlawanan yang dilagukan kembali. Biasanya dinyanyikan bersahut – sahutan dua sampai empat orang baik perempuan maupun laki – laki
  1. Mansana Kayau Pulang
Mansana Kayau Pulang ialah kisah yang dinyanyikan paa waktu malam sebelum tidur oleh para orang tua kepada anak dan cucunya dengan aksud membakar semangat anak turunannya untuk membalas dendam kepada Tambun Baputi yang telah membunuh nenek moyang mereka.
  1. Karungut
Karungut adalah semacam sastra lisan nusantara untuk Kalimantan Tengah, atau sama dengan Madihin kalau di Kalimantan Selatan, dan kalau di Jawa Tengah disebut mocopat.
Karungut juga bias disebut sebagai pantun yang dilagukan. Dalam berbagai acara, karungut sering dilantunkan, misalnya pada acara penyambutan tamu yang dihormati. Salah satu ekspresi kegembiraan dan rasa bahagia diungkapkan dalam bentuk karungut. Terkadang ditemukan perulangan kata pada akhir kalimat.
Untuk mengamati cara tutur orang Dayak dalam mengekspresikan perasaan mereka, maka terjemahan kedalam bahasa Indonesia dibuat sebagaimana adanya kata per kata.
Karungut tersebut dipakai sebagai alat oleh ibu-ibu untuk menidurkan anak-anaknya dengan cara bernyanyi dan bersenandung.
Kesenian Karungut juga digunakan untuk hajatan misalnya untuk upacara perkawinan, khitanan, upacara pemakaman, penyambutan tamu, hari ulang tahun, ulang tahun kantor, bahkan sekarang digunakan kampanye pilkada.
Jumlah kelompok Karungut di Palangkaraya cukup besar yaitu ada 62 kelompok, oLeh karena itu kelompok tersebut mempunyai potensi besar dalam menyampaikan pesan-pesan informasi publik, pesan-pesan yang disampaikan paling banyak pesan moral.
Mengingat potensi Karungut penting sebagai media informasi publik, perlu perhatian pemerintah pusat maupun daerah untuk pengembangan, dan perlu dijalin hubungan yang baik antara seniman-seniman Karungut dengan para pengusaha setempat untuk kerjasama promosi.
4. Mohing Asang
Mohing Asang ialah nyanyian perang. Bila Pangkalima tlah membunyikan Selentak tujuh kali kemudian terdengar nyanyian mohing Asang, itu berarti suatu perintah untuk maju.
Salah satu Mohing Asang yang merupakan komando pangkalima perang yang menggunakan bahasa Ot Danom dengan dialek Siang Murung.
5. Ngendau
Ngendau ialah senda gurau yang dilagukan. Biasanya dilakukan oleh para remaja laki – laki ataupun perempuan dan bersahut – sahutan.
6. Kalalai-lalai
Kalalai – lalai ialah nyanyian yang disertai tari – tarian Suku Dayak Mama di daerah Kotawaringin
7. Natum
Natum adalah kisah sejarah masa lalu yang dilagukan
8. Natum pangpangal
Natum Pangpangal adalah ratap tangis kesedihan pada saat terjadi kematian anggota keluarga yang dilagukan.
9. Dodoi
Dodoi adalah nyanyian ketika sedang berkayuh diperahu atau dirakit.
10. Marung
Marung adalah nyanyian pada saat upacara atau pesta besar dan meriah pada budaya Kalimantan Tengah ini
11. Dondong
Dondong adalah nyanyian pada saat menanam padi dan memotong padi di desa.
12. Ngandan
Ngandan ialah nyanyian yang dinyanyikan oleh pada lanjut usia yang ditunjukan kepada generasi muda sebagai pujian, sanjungan dan kasih saying yang diberikan kepada mereka.
13. Mansana Bandar
Mansana ialah cerita epic/campuran yang dilagukan, sedangkan Bandar adalah nama seorang tokoh yang sangat dipuja pada zamannya.
Bandar hidup dizaman Lewu Uju dan diyakini bahwa tokoh andar bukan anya sekedar mitos. Hingga saat ini masih ada orang – orang tertentu yang bernazar pada tokoh Bandar ini. Keharuman namanya disebabkan karena kepribadiannya yang simpatik dan menarik, disamping memiliki sifat kepahlawanan dan kesaktian yang tiada duanya.
Banyak sansana tercipta untuk memuji dan mengagungkan tokoh Bandar ini namu dengan versi yang berbeda – beda. Beberapa judul Sansana Bandar yang popular ialah Pejan Tarahan, Tompi ala dia haliai dan masih banyak lagi.
14. Karunya
Karuna ialah nyanyian yang diiringi suara dan music sebagai pemuja kepada Ranying Hatala. Dapat juga diadakan pada saat upacara pengangkatan seorang pemimpin mereka atau untuk menyambut kedatangan tamu yang sangat dihormati.
15. Baratabe
Baratabe ialah nyanyian untuk menyambut kedatangan para tamu
16. Kandan
Kandan ialah pantun yang dilagukan dan dilantunkan sahut – menyahut baik oleh laki – laki ataupun perempuan dalam suatu pesta atau pertemuan. Apabila pesta diadakan untuk menyambut tamu ang dihormati maka kalimat – kalimat yang dilantunkan lebih bersifat pujian, sanjungan doa dan harapan mereka kepada tamu yang dihormati itu.
Tradisi ini biasa ditemukan pada Suku Dayak Siang atau Murung di Kecamatan Siang dan Murung Kabupaten Barito Hulu,
17. Dedeo / ngaloak
Dedeo atau ngeloak adalah Kandan yang istilahnya dibuat sedikit berbeda,perbedaan itu dibuat karena sal usulnya berbeda. Dedeo atao ngaloak itu berasal dari tradisi Suku Dayak Dusun Tengah di daerah Barito Tengah Kalimantan tengah.
18. Selengot
Selengot ialah pantun berirama yang biasa diadakan pada pesta pernikahan, namun dalam upacara kematian Selengot terlarang oleh adat untuk dilaksanakan. Selengot khusus dilakukan oleh laki – laki dalam menceritaan riwayat hingga berlangsungnya pernikahan kedua mempelai dalh pesta pernikahan tersebut
19. Setangis
Setangis ialah nyanyian yang dilaksanakan hanya dalam upacara kematian dan terlarang oleh adat dilaksanakan dalam pesta pernikahan. Baik laki – laki maupun perempuan boleh melakukan setangis yang intinya menceritakan riwayat hidupnya serta mengenang jasa yang meninggal serta ungkapan kedudukan keluarga yang ditinggalkan.
Jenis – jenis instrument musiknya :
  1. Garantung
GARANTUNG atau gong merupakan salah satu alat musik yang digunakan masyarakat Suku Dayak. Selain garantung masyarakat Dayak juga menyebutnya dengan gong dan agung. Garatung diklasifikasikan sebagai salah satu alat musik dalam kelompok idiophone yang terbuat dari bahan logam; besi, kuningan, atau perunggu.
Menurut sejarah, garantung masuk ke wilayah Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah dibawa oleh para pedagang dari tanah Jawa, tepatnya pada saat hubungan dagang antara pedagang dari Kalimantan dan Kerajaan Majapahit.
Meski begitu, ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa masuknya garantung ke daratan Kalimantan dibawa oleh para pedagang asal Yunan (Cina, Red), India dan Melayu yang pada masanya memiliki pengaruh besar bagi perkembangan kehidupan masyarakat Suku Dayak.
Di kalangan masyarakat Suku Dayak, garantung juga dipercaya sebagai salah satu benda adat yang diturunkan dari Lewu Tatau (surga atau khayangan, Red) sebagai salah satu alat untuk berkomunikasi dengan roh-roh leluhur.
Dalam komunitas masyarakat Suku Dayak, garantung juga digunakan untuk memberi tahu masyarakat luas tentang adanya suatu acara atau pesta yang dilaksanakan oleh salah satu keluarga, dan dari salah satu kampung ke kampung lain.
Begitu juga ketika ada acara kematian atau upacara tiwah –khususnya para pemeluk Kaharingan, pada saat jenazah masih disemayamkan di rumah duka, garantung akan dimainkan untuk mengantarkan roh orang yang meninggal ke alam roh.
Tari kanjan sebagai salah satu tarian sakral untuk mengantarkan roh orang yang meninggal ke alam roh, garantung menjadi salah satu alat untuk mengiringi tarian tersebut. Garantung akan dimainkan dengan irama khusus dan sakral.
Selain sebagai alat musik tradisional, dalam komunitas masyarakat adat Suku Dayak, garantung juga menjadi salah satu benda berharga yang berfungsi sebagai barang adat dan dijadikan sebagai alat tukar untuk menilai sesuatu barang atau jasa.
Keperluan sebagai barang adat itu masih berlangsung hingga sekarang, khususnya pada acara adat perkawinan, garantung menjadi salah satu mas kawin atau barang permintaan yang harus diserahkan kepada pihak ahli waris mempelai perempuan.
Pada perkembangan selanjutnya, karena terbatasnya jumlah garantung, maka nilai sebuah garantung kemudian dihitung dalam bentuk nilai mata uang yang berlaku pada saat perjanjian perkawinan adat kedua mempelai dilakukan.
Selain itu, dahulu, garantung juga menjadi salah satu penanda status sosial seseorang. Semakin banyak garantung yang dimiliki oleh seseorang atau keluarga tersebut, maka akan semakin tinggi status sosial yang bersangkutan dan semakin tinggi pula ia dihormati.
Garantung Suku Dayak terdiri atas empat jenis dengan lima nada dasar atau laras, masing-masing; garantung tantawak berukuran kecil dan memiliki nada dasar G atau E, garantung lisung dengan ukuran sedang yang memiliki nada dasar D atau C, garantung papar berukuran besar dengan nada dasar A, serta sebuah garantung bandih yang berbentuk kecil tetapi memiliki nada yang tinggi.
  1. Salung
Salung ialah alat pukul yang hamper sama dengan Sarun, tetapi bedanya, salung ini terbuat dari kayu dan bambu.
3. Kangkanung
Kangkanung ialah sejenis gong dengan ukuran yang lebih kecil yang berjumlah lima biji dan tebuat dari tembaga
4. Sarun
Sarun merupakan alat music pukul yang terbuat dari besi atau logam. Bunyi yang dihasilkan hanya ada lima nada yaitu do, re, mi, sol, la.
  1. Gandang
MASYARAKAT Suku Dayak mengenal dengan baik alat musik gandang sebagai salah satu alat musik dari kelompok membranophone untuk mengiringi tarian dan lagu yang dinyanyikan. Karena itu, alat musik gandang pun sangat populer sebagai sebuah bagian harmoni di kalangan masyarakat Suku Dayak.
Bebunyian gandang merupakan pelengkap perangkat musik yang terdiri atas berbagai jenis alat musik termasuk rangkaian instrumen lain di antaranya; garantung (gong, Red), dan kangkanong (kenong, Red).
Gandang dibuat dari bahan kayu dengan rongga, sementara membran atau selaput getar dibuat dari kulit hewan atau binatang dengan ukuran besar, antara lain; sapi, kerbau, kambing atau jenis kulit binatang lain untuk menutupi rongga dan diikat dengan rotan.
Sebelum kulit binatang itu dijadikan selaput getar atau membran gandang, kulit binatang itu dikeringkan dan dipasangkan menutupi semua bagian rongga dan untuk mengencangkan membran digunakan beberapa baji pada simpei (simpul, Red).
Menurut sejarah dan galian kepurbakalaan, sejumlah kalangan memercayai bahwa gandang merupakan alat musik tradisional dari daratan Cina sejak sekitar 3.000 tahun yang lalu dan kemudian berkembang ke seluruh dunia dibawa oleh para perantau yang membawa tradisi kesenian ke luar Cina.
Pada zaman purbakala, gandang itu tidak saja digunakan untuk acara persembayangan atau persembahan kepada dewa-dewa dengan tarian dan nyanyian, tetapi juga untuk menggetarkan semangat perjuangan para tentara untuk maju perang dan digunakan sebagai alat komunikasi.
Menurut catatan lainnya, gendang yang berkembang di Nusantara atau ranah Melayu, termasuk Indonesia, dipercaya dibawa oleh unsur-unsur galur dari tanah Parsi (Persia, Red) di wilayah Timur Tengah dan dibawa oleh para pedagang Arab dan India pada kurun waktu sekitar abad ke-14 bersamaan dengan masuknya agama Islam yang lebih banyak mewarnai tradisi Melayu.
Berdasarkan rilis tersebut, sejumlah sejarawan percaya bahwa gendang lebih banyak berkembang di wilayah Timur Tengah sebagai pelengkap musik tradisional di kalangan bangsa Arab, sebelum kemudian menyebar ke seluruh dunia.
Di kalangan masyarakat Suku Dayak dikenal berbagai jenis gandang, antara lain; gandang tatau, gandang manca dan gandang bontang. Ketiga jenis gandang itu memiliki ukuran yang berbeda dan penggunaan yang berbeda pula.
Gandang tatau (gendang tunggal, Red) adalah jenis gandang yang agak besar dan panjang. Panjangnya bisa mencapai satu-dua meter dengan garis tengah atau diameter mencapai lebih kurang 40 centimeter.
Pada gandang tatau, salah satu bagian ujungnya dipasang membran yang terbuat dari kulit sapi, rusa atau panganen (ular sawa atau piton, Red) dan pada bagian pangkalnya dibiarkan terbuka untuk menguatkan suara ketika membran ditabuh.
Gandang tatau biasanya digunakan pada upacara-upacara adat, antara lain acara tiwah (upacara kematian, Red) dan upacara penyambutan tamu dengan alat musik pengiring lainnya terdiri atas gong sebanyak tiga-lima buah dan seperangkat kangkanong.
Gandang manca lebih umum dikenal masyarakat Suku Dayak sebagai gandang kembar yang terdiri atas sepasang gendang, yang terdiri atas gandang panggulung dan gandang paningkah yang memiliki perbedaan ketebalan membran pada bagian penutup rongga.
Gandang manca ini juga merupakan gendang yang terdiri atas dua membran di kedua ujung rongga dengan ukuran diamater yang berbeda, dalam artian, rongga gandang ditutup oleh membran atau selaput getar yang melapisinya.
Pada gandang panggulung, membran yang melapisi ujung rongga pada diameter yang lebih besar dengan kulit yang lebih tebal dan pada ujung rongga yang lebih kecil dipasang membran dengan kulit yang lebih tipis.
Sementara gandang paningkah merupakan kebalikan dari gandang panggulung, yang pada bagian ujung diameter yang lebih besar ditutup oleh membran yang tipis, dan pada ujung lainnya dengan diameter yang lebih kecil menggunakan membran yang lebih tebal.
Gandang bontang bentuknya mirip dengan gandang tatau, tetapi ukurannya jauh lebih kecil dan lebih pendek serta berukuran diameter antara 20-30 centimeter dan panjang antara 30-50 centimeter. Membran yang menutupinya pun dari kulit hewan yang tebal.
Cara membunyikan gandang bontang ini pun biasanya tidak dengan cara ditabuh menggunakan telapak tangan seperti gandang-gandang lainnya, melainkan dengan cara dipukul menggunakan rotan dan umumnya juga digunakan untuk mengiringi balian bawo atau balian dadas.
  1. Katambung
Katambung adalah alat music perkusi sejenis gendang yang biasa digunakan dalam upacara – upacara adat. Ukuran panjang 75cm terbuat dari kayu ulin dan bagian yang dipukul dengan telapak tangan terbuat dari kulit ikan buntal yang telah dikeringkan berdiameter 10cm.
  1. Kecapi
Kecapi adalah alat musik petik yang terbuat dari kayu ringan. Dimasa lalu tali yang digunakan adalah tengang atau tali liat yang terbuat dari kulit kayu, namun saat ini tengang dapat juga digantikan dengan tali nilon. Dawai tali kecapi dapat dua, boleh juga tiga.Apabila tali kecapi dipetik nada lagu dapat diatur. Suara kecapi biasanya untuk mengiringi karungut dan Tari Kinyah.
  1. Serunai
Serunai terbuat dari bamboo atau kayu
  1. Kentong
Kentong terbuat dari sejenis tumbuhan hutan yang dalam Bahas Dayak disebt Belang ata Pohon jako. Yang diambil peepahnya yang telah tua, kemudian dikeringkan. Setelah kering dipotong – potong ukuran sejengkal. Tengah – tengah kentong berlidah dan ujungnya runcing dan bila dipukul akan mengeluarkan bunyi.
  1. Suling Bahalang
Suling Bahalang ialah alat music tiup yang terbuat dari bambu barlubang tujuh.
  1. Suling Balawung
Suling Balawung ialah alat music tiup yang terbuat dari bamboo berukuran kecil dengan lima lubang dibagian bawah dan satu lubang dibagian atas. Suling Balawang bias digunakan oleh perempuan.
  1. Rebab
Rebab ialah alat musik gesek.
  1. Kangkanong Humbang
Kangkanong Humbang ialah alat music yang terbuat dari bambu.
  1. Tote / serupai
Tote ialah alat music tiup yang terbuat dari buluh kecil yang telah dikeringkan dan ujung sebelahdalamnya diberi lidah. Pada batang dibuat dua atau tiga buah lubang. Untuk menghasilkan bunyi ang merdu dan menyayat kalbu, tote atau serupai ditiup pada baian uungnya.
  1. Babun
Babun sama dengan kendang.
  1. Kalali / suling panjang
Kalali ialah alat music tiup yang terbuat dari buluh kecil yang telah dikecilkan. Ukuran panjang setengah meter dengan ujung beruas dan dibuat luang kecil dekat ruas tersebut. Ujung ruas diraut agar dapat dipasang sepotong roan yang telah diraut pula berbentuk tipis. Buluh rotan diikat pada batang kalali, kemudian dibuat lima buah lubang untuk menentukan tinggi rendahnya nada.